Don’t Judge Book From The Cover
Seringkali kita mendengar petuah
diatas, yang berarti ‘Jangan nilai sebuah buku dari sampulnya’. terutaman dalam
hal penampilan. Apakah itu benar? Itu salah. Kenyataannya, ketika dalam
memutuskan sebuah sampul dalam pembuatan sebuah buku, sampul itu menjadi
penting sekali. Bahkan menyita hampir setengah energi setiap editor untuk memikirkannya.
Pasalnya, dalam industri perbukuan, keberadaan sebuah buku harus bisa
mempromosikan diri sendiri.
Bayangkan ketika Anda masuk ke sebuah toko buku dan belum ada ide hendak
membeli buku apa. Maka pertarungan untuk merebut perhatian Anda adalah
pertama-tama dari sampulnya. Kemudian, barulah Anda membaca sinopsisnya, yang
notabene itu masih berada di bagian sampul, meski ada di belakang.
Saking pentingnya sampul untuk
menarik perhatian pembaca, industri buku juga mulai beralih untuk memasukkan komentar-komentar
entah itu pendapat selebriti, orang ternama, atau secuplik ulasan media di
bagian belakang sampul. Tujuan jelas: membentuk pencitraan tertentu untuk mendorong
terjadinya pembelian.
Pentingnya pencitraan memang erat
kaitannya dengan produk komersil. Lihat saja iklan sabun atau kosmetik yang
menampilkan para artis cantik. Jelas tujuannya untuk menarik para pembeli untuk
memberikan harapan kepada mereka agar dapat meniru si artis tersebut. Hingga
akhirnya dapat mempengaruhi mereka untuk membeli produk yang ditawarkan.
Nah, itu untuk produk. Bagaimana
dengan kita sebagai pribadi. Bagaimanapun,
citra itu penting. Suka atau tidak suka,
kita hidup dalam dunia yang memang pertama-tama menilai orang dari bungkusnya.
Apalagi ketika hidup di perkotaan urban, membuat kita terlalu sibuk untuk bisa
lebih mengenal orang lain.
Pada kehidupan masyarakat urban yang
super sibuk membuat kita tidak punya banyak waktu untuk mencoba mengenal teman
baru lebih lama. Mengunjungi tetangga saja sudah tidak ada waktu, kan?
Menyediakan waktu khusus untuk
keluarga saja sudah sedemikian sulitnya, masak kita lebih memilih menggunakan
waktu yang tersisa demi membuktikan "jangan menilai sebuah buku dari
sampul" pada orang yang kita temui.
Ketika kita mati-matian meminta
orang lain untuk menilai kita jangan dari luarnya saja, ini terlalu egois. Ini
sama halnya meminta mereka untuk mengenal kita lebih lanjut, mempelajari kita
lebih dalam untuk membuktikan bahwa kita berbeda dengan tampilan luar kita.
Kejam memang memandang hidup kita
seperti produk. Inilah konsekuensi ketika hidup sudah sedemikian sibuk,
sehingga kita perlu selalu menyiapkan diri untuk dinilai dengan cara flash.
Coba saja ke mal. Koridor tempat para pengunjung berjalan itu sebenarnya
etalase. Kita saling menilai satu sama lain dari penampilan
Inilah pentingnya menjaga penampilan
demi pencitraan. Kita harus memilih, citra seperti apa yang ingin kita
tampilkan di depan umum. Citra aktivis, sosialita, ibu rumah tangga baik-baik,
pekerja tangguh? Banyak sekali varian citra yang tersedia untuk dipilih.
Banyak pakar karier memberi nasihat,
selalu berpenampilan rapi ketika kita berada di lingkungan kerja. Tidak harus
mewah, tapi rapi dan bersih. Pasalnya, kita tak pernah tahu akan ada tugas apa
yang menanti kita atau akan bertemu siapa pada hari itu. Akan selalu ada
kejutan dalam keseharian kita, yang menuntut kita harus siap menyuguhkan
penampilan terbaik.
Melelahkan? Tergantung cara pandang kita. Ketika
kita menilai menjaga penampilan itu paksaan, ya memang melelahkan. Tapi kalau
kita menyikapinya dengan nikmat, seperti menjadikannya alasan tepat untuk
berburu pakaian, tas, dan sepatu oke di toko, semuanya tidak terasa berat. Alasan
terberat adalah saat merogoh dompet untuk itu semua.