Rabu, 26 Februari 2014

Katakan “Tidak” dengan Tepat

Dalam keseharian, seringkali kita menemui keadaan yang membuat bingung untuk bertindak karena takut salah. Kita disuruh untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya kita tidak mau melakukannya. Terlebih bila yang memerintah itu adalah orang yang sangat kita segani, misalnya atasan kita. Banyak karyawan yang mengatakan bahwa ketika ada perintah dari pimpinan sulit untuk menolak atau berkata tidak. Timbul ketakutan jangan-jangan nanti dianggap tidak loyal. Bagaimana kita menyikapinya, apakah kita berani untuk berkata tidak?
Kata tidak gampang diucapkan, tapi mempunyai  implikasi yang sangat luas dalam membangun hubungan dan persepsi. Sering kita menyepelekan, kapan berkata tidak, kapan harus menyimpannya dan sampai kapan harus dibunuh supaya relasi yang sedang kita jalin bisa berjalan dengan baik.
Kata tidak konotasinya adalah penolakan terhadap suatu ajakan, perintah, larangan atau imbauan dan posisinya cenderung berlawanan. Misalnya pimpinan maunya begini, tapi kita tidak mau mengikutinya sehingga ada image kalau bicara tidak, mengandung nilai negatif di mata partner, apakah itu atasan, teman atau konsumen. Akan tetapi, kata tidak itu menunjukkan karakter kita apakah mempunyai keberanian untuk mengatakan tidak. Misalkan pimpinan memerintah sesuatu, tetapi karena menyangkut suatu hal yang kurang baik akhirnya muncul karakter kita yang berani berkata tidak. Hal ini akan memperlihatkan karakter, prinsip dan keyakinan yang kita miliki terhadap suatu hal yang sedang dibicarakan itu. #repost

Kamis, 20 Februari 2014

Raut Wajah Memberikan Nilai Tambah



Wajah  atau muka menjadi perhatian terbsar saat terjadi proses komunikasi. Komponen wajah yang terdiri dari mata, telinga, mulut, dahi, pipi, rambut dan lain-lain merupakan atribut diri yang masing-masing akan mampu memperteguh kekuatan diri kita pada saat berkomunikasi. Namun sedikit yang menyadari hal itu dan bahkan mau memikirkan komponen tersebut untuk menunjang kesuksesan dalam berinteraksi. Ambil contoh peristiwa kegagalan pada saat interview atau melamar pekerjaan, penilaian pelayanan kepada konsumen, upaya meng-goal-kan ide baru kepada orang lain, negosiasi bisnis sampai pada kepiawaian membujuk sang pacar. Gagal bukan karena pesannya tetapi gagal karena komponen mukanya.
Seringnya kita sudah rendah diri terlebih dahulu, Misalnya tubuh tidak atletis, wajah yang kurang tampan ataupun kurang cantik dan ketidakmampuan dalam memakai atribut lain yang bisa meningkatkan gengsi (parfum, perhiasan, jam dan lain-lain). Padahal dalam wajah kita itu mengandung potensi yang bisa digali, Tidak sekedar diberi polesan kosmetik saja tetapi benar-benar memberikan kekuatan dalam mengirimkan isyarat non-verbal yang bisa menunjang kesuksesan komunikasi. Tanpa sadar kadangkala kita mengatakan bahwa “si Y” itu tidak tampan/cantik tetapi kok menarik. Inilah kepiawaian mengolah wajah. Bisa hebat dari matanya, dahinya, mulutnya ataupun kombinasi dari komponen mukanya.
Patut dicatat bahwa cara menilai dan memandang wajah kita sendiri akan menentukan segala yang kita katakan. Oleh karenanya, kenalilah kekuatan dan kelemahan di wajah anda. Cobalah berkomunikasi sebagaimana anda bercermin, agar apa yang anda inginkan bisa menjadi kenyataan. Bagaimana sebaiknya raut muka anda agar bisa dinilai mampu, ceria, jujur, sungguh-sungguh ataupun penuh dengan keikhlasan. Semua itu, tentu saja disesuaikan dengan peran yang sedang Anda mainkan.
Dalam dunia kerja maka keberhasilan komunikasi dalam melakukan proses kerja sangat ditentukan juga oleh kemampuan anda mengolah muka Anda saat berkomunikasi dengan orang lain. Situasi akan sulit dikelola pada saat yang anda hadapi justru bertolak belakang dengan yang Anda inginkan. Saat emosi yang lebih dominan muncul maka saat itu pulalah kendali terhadap muka menjadi terkontrol. Oleh karena itu, latihan dan perhatian yang penuh dalam mengelola raut muka menjadi penting bagi siapapun dan dalam jabatan apapun agar   tidak   tergelincir dalam kegagalan  komunikasi.  Namun mengelola wajah bukanlah sekedar akting, tetapi menjadi cerminan diri anda yang educated. Mari berlatih bersama-sama dengan kami.

Minggu, 16 Februari 2014

Penampilan Demi Pencitraan



Don’t Judge Book From The Cover
Seringkali kita mendengar petuah diatas, yang berarti ‘Jangan nilai sebuah buku dari sampulnya’. terutaman dalam hal penampilan. Apakah itu benar? Itu salah. Kenyataannya, ketika dalam memutuskan sebuah sampul dalam pembuatan sebuah buku, sampul itu menjadi penting sekali. Bahkan menyita hampir setengah energi setiap editor untuk memikirkannya. Pasalnya, dalam industri perbukuan, keberadaan sebuah buku harus bisa mempromosikan diri sendiri.
Bayangkan ketika Anda masuk ke sebuah toko buku dan belum ada ide hendak membeli buku apa. Maka pertarungan untuk merebut perhatian Anda adalah pertama-tama dari sampulnya. Kemudian, barulah Anda membaca sinopsisnya, yang notabene itu masih berada di bagian sampul, meski ada di belakang.
Saking pentingnya sampul untuk menarik perhatian pembaca, industri buku juga mulai beralih untuk memasukkan komentar-komentar entah itu pendapat selebriti, orang ternama, atau secuplik ulasan media di bagian belakang sampul. Tujuan jelas: membentuk pencitraan tertentu untuk mendorong terjadinya pembelian.
Pentingnya pencitraan memang erat kaitannya dengan produk komersil. Lihat saja iklan sabun atau kosmetik yang menampilkan para artis cantik. Jelas tujuannya untuk menarik para pembeli untuk memberikan harapan kepada mereka agar dapat meniru si artis tersebut. Hingga akhirnya dapat mempengaruhi mereka untuk membeli produk yang ditawarkan.
Nah, itu untuk produk. Bagaimana dengan kita sebagai pribadi. Bagaimanapun, citra itu penting.  Suka atau tidak suka, kita hidup dalam dunia yang memang pertama-tama menilai orang dari bungkusnya. Apalagi ketika hidup di perkotaan urban, membuat kita terlalu sibuk untuk bisa lebih mengenal orang lain.
Pada kehidupan masyarakat urban yang super sibuk membuat kita tidak punya banyak waktu untuk mencoba mengenal teman baru lebih lama. Mengunjungi tetangga saja sudah tidak ada waktu, kan?
Menyediakan waktu khusus untuk keluarga saja sudah sedemikian sulitnya, masak kita lebih memilih menggunakan waktu yang tersisa demi membuktikan "jangan menilai sebuah buku dari sampul" pada orang yang kita temui.
Ketika kita mati-matian meminta orang lain untuk menilai kita jangan dari luarnya saja, ini terlalu egois. Ini sama halnya meminta mereka untuk mengenal kita lebih lanjut, mempelajari kita lebih dalam untuk membuktikan bahwa kita berbeda dengan tampilan luar kita.
Kejam memang memandang hidup kita seperti produk. Inilah konsekuensi ketika hidup sudah sedemikian sibuk, sehingga kita perlu selalu menyiapkan diri untuk dinilai dengan cara flash. Coba saja ke mal. Koridor tempat para pengunjung berjalan itu sebenarnya etalase. Kita saling menilai satu sama lain dari penampilan
Inilah pentingnya menjaga penampilan demi pencitraan. Kita harus memilih, citra seperti apa yang ingin kita tampilkan di depan umum. Citra aktivis, sosialita, ibu rumah tangga baik-baik, pekerja tangguh? Banyak sekali varian citra yang tersedia untuk dipilih.
Banyak pakar karier memberi nasihat, selalu berpenampilan rapi ketika kita berada di lingkungan kerja. Tidak harus mewah, tapi rapi dan bersih. Pasalnya, kita tak pernah tahu akan ada tugas apa yang menanti kita atau akan bertemu siapa pada hari itu. Akan selalu ada kejutan dalam keseharian kita, yang menuntut kita harus siap menyuguhkan penampilan terbaik.
 Melelahkan? Tergantung cara pandang kita. Ketika kita menilai menjaga penampilan itu paksaan, ya memang melelahkan. Tapi kalau kita menyikapinya dengan nikmat, seperti menjadikannya alasan tepat untuk berburu pakaian, tas, dan sepatu oke di toko, semuanya tidak terasa berat. Alasan terberat adalah saat merogoh dompet untuk itu semua.